h1

Bagaimana Kita Terdorong Membeli (dan Memilih Pasangan!)

Agustus 2, 2009

Mengapa kita bisa memilih barang atau pasangan yang kita pilih? Bagaimana mekanika pola kerja pikiran kita ketika melakukan pertimbangan itu? Apakah logis dan linear, atau kacau dan penuh asosiasi seenak jidat?

Paul Harrison adalah seorang penulis dan peneliti yang mendalami bidang psikologi dan perilaku konsumen. Berikut adalah beberapa keypoints yang dia sampaikan mengenai dalam dialog Deakin Boardroom Lunch.

  • Manusia cenderung mempercayai institusi, lembaga, keluarga, atau siapapun yang berada di posisi otoritas. Jadi banyak sekali keputusan yang kita ambil terpicu oleh dorongan atau arahan dari pihak-pihak tersebut, sekalipun pada awalnya kita tidak setuju dengan pandangan mereka.
     
  • Pikiran kita sensitif terhadap pujian. Kita cenderung membeli, memilih benda dan orang lain yang membuat kita merasa lebih baik, lebih cantik, lebih diinginkan.
     
  • Kita suka berpikir bahwa kita dapat mengambil keputusan yang rasional berdasarkan informasi dan fakta yang ada. Namun berdasarkan penelitian, proses pengambilan keputusan kita seringkali berantakan, terpengaruh prejudis dan stereotip, dan sisi ego akan menolak apapun yang bertentangan dengan sikap mental kita saat ini, tidak peduli pilihan itu sebenarnya adalah hal yang terbaik untuk kita.
     
  • Kita cenderung bersikap apatis dan terpola ketika mengambil keputusan. Dengan kata lain, tidak peduli seberapa salah pembelian atau pilihan kita di masa lalu, manusia cenderung untuk mengulanginya lagi tanpa dia sadari.
     
  • Ketika dalam keadaan stres, kecewa, dan di bawah tekanan, kita tidak dapat berpikir dengan baik sehingga mengakibatkan pengambilan keputusan yang buruk.

I think what is important here is this ideology, or, perhaps, mindset, that says we are all individuals, and thus, we all have control over our behaviour, and if we just tried that little bit harder, or were just given a little bit more information, then we would be able to take responsibility for ourselves more appropriately. In other words, stop complaining, get off your backside, and do something about it.

Kesimpulan? Biasakan diri Anda untuk bekerja sedikit lebih keras ketika mengambil keputusan, salah satunya adalah ketika memilih pasangan hidup atau kekasih. Pastikan Anda tidak melakukannya hanya berdasarkan program yang sudah terbiasa tertanam dalam kepala Anda. Hanya karena sesuatu terasa logis, bukan berarti Anda sudah benar-benar berpikir logis.

Salam revolusi cinta,

      Lex dePraxis

Solusi Romansa #1 di Indonesia

lex depraxis sebar hitman system

10 komentar

  1. mantap bung, saya merasa ini rintihan hati terdalam dari penulis deh. betul?

    Lex’s Reply: Tentu saja, tidakkah kita semua merintihkan hal yang sama?


  2. hemm.. janji untuk nulis tiap hari ditetapin juga…

    Lex’s Reply: Silakan berkunjung besok pagi, dan besoknya lagi, dan besoknya lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi…


  3. yups, gw salah satu kriteria orang yang sensitif terhadap pujian.

    *thx lex for visiting my blog

    Lex’s Reply: Sensitif atau haus? Hahaha…


  4. memilih pasangan hidup tak melulu harus dilakukan dengan cara-cara orang kebanyakan.
    Melanjutkan komen dipostingan awal : pernikahan yang dilakukan melalui proses hubungan sebelumnya cenderung melakukan hal-hal yang tidak baik, sehingga hubungan setelah menikah menjadi hambar dan dipenuhi dengan kejenuhan.
    Saya mendapatkan pasangan boleh dikatakan setara dengan keinginan saya jauh-jauh hari sebelum saya memiliki kedewasaan berfikir, bukan karena “keinginan” orang lain.
    kunjungi kisah saya di : http://padiemas.blogdetik.com/2009/02/10/kisah-cintaku

    Lex’s Reply: Setuju, jika seluruh kisah Anda dilihat secara makro. Dan ketika diamati, telaah secara mikro, maka akan terlihat bagaimana sebenarnya proses pemilihan dan keputusan itu terpengaruh salah satu atau beberapa hal di atas. Kita, manusia, memang makhluk yang unik, namun uniknya sudah cukup terpola. Pola adalah JAMINAN kelangsungan hidup dan reproduksi, setidaknya demikian yang terekam di dalam gen makhluk hidup.


  5. Biasanya semakin sulit kita mendapatkan ‘sang pujaan hati’ maka semakin bagus pula kualitas gebetan tsb. Bener begitu Lex??

    Lex’s Reply: Salah. Lawan jenis yang sulit didapatkan bisa memiliki banyak faktor, mulai dari memang high-demand, iseng, tidak berminat, hingga memiliki ekses-ekses kejiwaan yang membuatnya sulit didapatkan tanpa dia sendiri menyadari. Itu sebabnya saya selalu menyampaikan dalam workshop bahwa para vitamin level tinggi (aka model, selebritis, SPG, dsb) bukan materi hubungan cinta, melainkan materi persahabatan saja. Vitamin-vitamin tersebut pada umumnya secara alamiah berperilaku sulit didekati, apalagi didapatkan; sebuah pertanda halus bahwa ia juga sulit diladeni ataupun dipuaskan dalam sebuah hubungan cinta. Memang tidak selalu demikian, tapi setidaknya mencapai persentase 70-80%.


  6. keren… keren… aku juga saat memilih sesuatu begitu adanya. termasuk saat memilih pasangan. Tapi kalau memilih barang, aku cenderung pada keegoisan hati dan kenyamanan diri. Gak penting mau dipuji atau tidak. karena selama itu nyaman bisanya pujian akan datang sendiri…

    sudah pengalaman!

    salam kenal
    serujadiguru.blogdetik.com 😆

    Lex’s Reply: Tepat sekali, apa yang Anda sebut sebagai keegoisan hati dan kenyamanan adalah poin ketiga dalam entri di atas. Kita merasa nyaman akan sesuatu yang sudah terpola dan dibiasakan.


  7. kunjungan balik.. keren juga blognya, pak.. salam kenal.. makasih untuk komen transformernya.. hihi

    Lex’s Reply: Salam kenal juga. Mau nonton Transformers lagi ah, masih tayang ga ya?


  8. kunjungan balik ..

    hmmm,,
    kalau saya mah sering memilih tanpa di pikirkan lagii
    jadinya sering menyesal belakangan ..
    memang orang yang ceroboh ..

    Lex’s Reply: Nah, pembelajaran hari ini semoga bisa mengurangi kecerobohan itu.

    salam 🙂


  9. Terkadang kita tidak berani memilih sesuatu yang yang jelas-jelas lebih baik, malah membiarkan imajinasi dan emosi untuk mengambil pasangan…

    Lex’s Reply: We’re just human, aren’t we?


  10. […] pertama. Tidak pernah ada cinta dalam cinta pada pandangan pertama. Itu adalah ilusi hormonal, misrepresentasi sosial, dan manipulasi diri yang terjadi di dalam tubuh kita. Para peneliti di Face Research Laboratory […]



Tinggalkan komentar